Eks Perbekel Bongkasa Dituntut 4 Tahun, Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT)

1 week ago 6
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Kasus operasi tangkap tangan (OTT) dugaan korupsi pembangunan pura yang menyeret mantan Perbekel Bongkasa, I Ketut Luki, 60, mulai mendekati vonis. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Rabu (9/4), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. 

Kasus ini mencuat setelah mantan anggota DPRD Badung periode 2009-2014 ini terjaring operasi tangkap tangan (OTT) usai diduga meminta uang Rp 20 juta kepada kontraktor proyek, yang disebut-sebut untuk keperluan pribadi membangun rumahnya. 

Dalam surat tuntutan JPU I Made Eddy Setiawan dkk, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam jabatan sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 12 huruf g Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001.

"Meminta, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan," papar JPU dihadapan Majelis Hakim Ketua, Putu Gde Noviartha yang juga diketahui menjabat sebagai Kepala Pengadilan Negeri (KPN) Tabanan.

JPU juga menerangkan hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan terdakwa. Hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi serta terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Sedangkan hal yang meringankan yaitu, terdakwa belum pernah dihukum dan sopan dalam persidangan.

Bermula pada tahun 2024, Desa Bongkasa, Abiansemal, Badung mendapatkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari APBD Kabupaten Badung sebesar Rp 22,5 miliar, setidaknya ada tujuh proyek yang dibiayai dari anggaran ini. “Salah satunya adalah pembangunan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kutaraga dengan anggaran sebesar Rp 2,47 miliar. Proyek tersebut dimenangkan oleh CV Wana Bhumi Karya melalui proses lelang,” beber JPU.

Pada tanggal 8 Agustus 2024, CV Wana Bhumi Karya selaku penyedia jasa mengajukan permohonan pembayaran termin pertama sebesar Rp 603.650.200 setelah mencapai progres pekerjaan 25%. Permohonan tersebut diajukan kepada Kasi Kesra, I Made Terpi Astika, yang kemudian meneruskannya kepada Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) untuk dilakukan pemeriksaan.

Namun, ketika hasil pemeriksaan diserahkan kepada Perbekel Bongkasa, terdakwa justru menunda proses pencairan dana dengan alasan yang tidak jelas. Masalah kembali muncul pada pembayaran termin kedua yang diajukan pada 24 Oktober 2024 setelah progres pekerjaan mencapai 50%. Sama seperti sebelumnya, permohonan ini telah melalui pemeriksaan oleh TPK dan dinyatakan layak untuk dibayarkan. Namun, lagi-lagi terdakwa menunda pencairan dana dengan alasan yang tidak jelas. 

“Pada saat itu terdakwa menjawab ‘Nden malu’ (tunda dulu) sehingga berkas permohonan pembayaran tersebut diletakkan di meja terdakwa oleh I Made Terpi Astika,” ungkap JPU. Singkat kata dana tersebut tidak kunjung cair. Puncaknya terjadi pada 30 Oktober 2024, akhirnya Komisaris CV Wana Bhumi Karya, Ni Luh De Widyastuti, turun tangan menghubungi terdakwa untuk menanyakan status pembayaran termin kedua. Saat itu, terdakwa menyatakan proses sudah berjalan. Namun setelah dilakukan pengecekan ke staf Bendahara Desa, ternyata proses belum dilakukan sama sekali. 

Saat dikonfirmasi lebih lanjut oleh Widyastuti, terdakwa justru meminta imbalan dengan alasan sedang membangun rumah pribadi dan membutuhkan dana untuk membeli bahan bangunan. Terdakwa waktu itu mengatakan “Sing ngidang bantu bapak ne? Karna bapak membangun jumah, pang ade anggo meli bata” (Apakah tidak bisa bantu Bapak? Karena bapak lagi membangun di rumah supaya ada untuk beli bata), kemudian dijawab oleh Widyastuti, “Nah, yang penting ngidang cair” (Iya, yang penting bisa dicairkan), namun ternyata permohonan pembayaran termin II tersebut belum juga diproses oleh terdakwa.

Sampai di tanggal 4 November 2024 dana tersebut akhirnya dicairkan, saat itu terdakwa menghubungi Widyastuti sambil mengatakan “Sampun tyang cairkan, be lebih tyang cairkan, lebih nae baang bapak dik” (Sudah saya cairkan, sudah lebih saya cairkan, tolong lebihkan sedikit bapak ngasinya), kemudian Widyastuti, menjawab “O nah, nah, Pak Tut” (Iya, iya, Pak Tut). Setelah itu akhirnya uang pembayaran termin II sejumlah Rp 534.312.002 ditransfer ke rekening CV Wana Bhumi Karya.

Pada 5 November 2024, setelah dana proyek dicairkan, Direktur CV Wana Bhumi Karya, Kadek Dodi Stiawan, bersama Komisaris perusahaan menarik uang di bank. Mereka kemudian menyerahkan uang Rp 20 juta kepada pegawai perusahaan, I Putu Gede Widnyana, yang bertugas mengantarkan uang kepada terdakwa di wilayah Abiansemal.

“CV Wana Bhumi Karya mengaku terpaksa memberikan uang tersebut karena khawatir pencairan termin berikutnya akan kembali dipersulit, karena mereka membutuhkan modal untuk membiayai proyek lainnya yang sedang dikerjakan untuk pembelian material dan gaji karyawan,” tukas JPU. 

Saat uang itu sudah dititipkan ke Putu Gede Widnyana dan ingin diberikan ke terdakwa, terdakwa mengatakan dia sedang berada di Puspem Badung dan titipan tersebut agar dibawa ke lapangan parkir sebelah utara Puspem Badung. Saat di sanalah petugas Ditreskrimsus Polda Bali yang sudah mengetahui hal ini segera melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa. 7 t
Read Entire Article