Kisah Pilu Pemilik Tanah di Ungasan: Dari Janji Investasi hingga Kehilangan Aset

4 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Menurut Gnyadnya, HH awalnya berniat membeli lahan tersebut, namun tidak memiliki dana tunai. “Saya direkomendasikan olehnya untuk meminjam uang kepada seseorang di Jakarta, dengan janji bahwa dalam tiga bulan, HH akan melunasi pinjaman beserta harga tanah,” ujar Gnyadnya kepada awak media, Senin (3/2/2025).

Pemilik toko kain di bilangan Jalan Gajah Mada Denpasar ini mengaku telah berkonsultasi dengan notaris hingga makelar tanah sebelum memutuskan untuk meminjam uang tersebut. Namun, setelah tiga bulan, HH tidak kunjung melunasi kewajibannya.

Belakangan sertipikat hak milik (SHM) kepemilikan lahan tersebut diambil alih oleh SS atas nama sebuah PT di Jakarta Selatan. “Dari SHM menjadi Hak Guna Bangunan (HGB),” ujar Gnyadnya,

Tak berhenti di sana, sertifikat itu kemudian dipecah menjadi 26 bagian, dan hingga kini masih atas nama SS. “Melihat kenyataan ini ayah saya sampai drop sakit,” imbuh Made Alit Dumara Swari , putri kedua dari  Gnyadnya.

Bahkan bukan hanya lahan seluas 6 hektare yang lepas dari genggaman, karena Gnyadnya menyebut telah mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk mendapatkan izin pembangunan perumahan di lahan dimaksud, serta pengurusan akses jalan dengan nominal mencapai ratusan juta rupiah.

"Sekarang ada calon pembeli yang berminat, saya berharap data-data tanah bisa diserahkan agar proses jual beli bisa berjalan lancar," pinta Gnyadnya memelas.

Terkait dengan nilai lahan, Gnyadnya menyebut harga pasaran tanah di kawasan tersebut saat ini mencapai Rp500 juta per are. Jika dikalkulasi secara total, luasan lahan tersebut bernilai Rp 300 miliar.  

Kronologi Sengketa

Berdasarkan dokumen yang ditunjukkan  kepada NusaBali, sengketa ini bermula pada 1 April 2017, ketika Gnyadnya menerima uang sebesar Rp240 juta dari LP, MYV, dan PGS sebagai tanda jadi kerjasama pengelolaan lahan. Namun, satu tahun kemudian, tidak ada update soal perkembangan pengelolaan lahan, sehingga Gnyadnya memutuskan untuk menjual tanah tersebut pada 15 Agustus 2018.

Pada 10 Juli 2019, Gnyadnya meminjam uang sebesar Rp3,25 miliar dari IMBY untuk mengurus sertifikat pengganti. Namun, notaris NWW menyerahkan sertifikat tersebut kepada pihak lain tanpa persetujuan Gnyadnya, yang kemudian memicu sengketa lebih lanjut.

Pada 29 Januari 2020, Gnyadnya meminjam uang sebesar Rp25 miliar dari ES, namun hanya menerima Rp18 miliar. Sebagian besar dana tersebut dialihkan ke notaris NWW. Sementara HH yang dijanjikan akan melunasi pinjaman, ternyata tidak memenuhi kewajibannya, membuat Gnyadnya jatuh sakit.

Putri Gnyadnya, Made Alit Dumara Swari, kini mengambil alih proses penyelesaian sengketa. Ia telah berkomunikasi dengan ES yang hanya ingin uangnya kembali beserta bunga 3% per bulan. “Kami berusaha menawarkan penjualan tanah, tapi belum ada pembeli yang memenuhi syarat,” ujar Made.

Pada Desember 2021, ES melanjutkan proses balik nama sertifikat tanpa persetujuan Gnyadnya. Menurut informasi dari BPN, sertifikat tersebut kini telah dipecah menjadi 26 bagian dan dialihkan atas nama sebuah PT di Jakarta Selatan.

Saat ini, kata Gnyadnya, terdapat calon pembeli yang menawar seluruh lahan seharga Rp189 miliar. "Saya berharap transaksi ini bisa berjalan dengan baik, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Saya hanya ingin mendapatkan bagian yang pantas dari hasil penjualan tanah ini. Saya sudah menjadi korban dalam kasus ini,” tutupnya.

Read Entire Article